Senin, 19 April 2010

MTQ ; SARANA MEMBANGUN SEMANGAT KEMANDIRIAN LOKAL.

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Propinsi Sulawesi Barat yang ke-III tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 24 April 2010 di Kabupaten Majene. Majene adalah salah satu kabupaten dalam wilayah propinsi Sulawesi Barat yang merupakan juara umum MTQ tingkat propinsi Sulawesi Barat yang ke-II yang digelar di Kabupaten Polewali Mandar dua tahun silam.

Musabaqah Tilawatil Qur’an dikenal bukan hanya sebuah peristiwa “religius” yang fokus melombakan seni baca Al-qur’an tetapi juga alat legitimasi untuk mengukur tingkat kemampuan dalam pemahaman di bidang tertentu, khususnya yang berkaitan dengan Qur’an. Dari arena MTQ lahir pembaca Qur’an terbaik, penafsir Qur’an yang mumpuni, bahkan penulis kaligrafi ayat Qur’an yang piawai.

Lebih dari itu, MTQ juga merupakan peristiwa budaya yang telah mengakar dan menjadi tradisi untuk menampilkan keaneka ragaman budaya keislaman daerah-daerah tertentu di Indonesia. Event MTQ juga dapat menjadi sarana gratis untuk melakukan pameran kebudayaan, pameran bisnis, bahkan pameran komoditi suatu daerah. Tak heran jika banyak daerah yang antusias menjadi tuan rumah perhelatan tersebut terutama dalam skala nasional. Dan umat Islam patut berbangga bahwa kita dapat menjadikan lomba seni baca Qur’an sebagai kegiatan nasional yang dilaksanakan secara berkelanjutan.

Dalam konteks Sulawesi Barat, sebagai propinsi termuda di Indonesia tentu berupaya menjadikan MTQ sebagai sarana membangun kebersamaan dan ukhuwah Islamiyah yang dibangun diatas landasan persaudaraan yang kuat serta kemandirian sebagai rakyat Mandar. Semangat kemandirian yang coba dibangun oleh para pendahulu yang merintis terbentuknya propinsi Sulawesi Barat sepatutnya turut menjadi spirit yang mewarnai setiap perhelatan akbar di Sulawesi Barat, termasuk perhelatan MTQ. Kemandirian yang dimaksud adalah upaya untuk lebih mengedepankan semangat membangun Sulawesi Barat dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi lokal Sulawesi Barat dalam konteks pembangunan di segala bidang. Setelah Sulawesi Barat terbentuk, saat yang telah lama dinantikan untuk segera membenahi pembangunan di segala lini dan lepas dari bayang-bayang keterbelakangan menjadi prioritas utama sebagai cita-cita membangun kemandirian.

Namun, satu hal cukup memprihatinkan menjadi catatan buruk MTQ, juga senantiasa menjadi pemandangan umum dalam setiap perhelatan tersebut. Pelaksanaan MTQ terkadang menjadi ajang transaksi bagi kalangan tertentu untuk memenangkan sebuah daerah sebagai juara umum. Transaksi yang dilakoni oleh para “makelar” MTQ mampu merubah imej MTQ sebagai ajang prestasi menjadi “prestise”. Bahkan lebih buruk lagi, MTQ kadang menjadi alat jualan bagi kalangan tertentu untuk tujuan politis merebut kekuasaan.

Yang dikorbankan tentu saja banyak aspek. Pertama, pembinaan menjadi terbengkalai. Keinginan kuat untuk menjadi yang terbaik di ajang MTQ kadang membuat suatu daerah menghalalkan segala cara termasuk me”rental” peserta untuk memperkuat kafilah. Hasil akhir semakin menjadi prioritas dan mengabaikan proses yang berjalan sebagai sebuah siklus menuju kematangan dalam berprestasi. Kedua, Banyak potensi lokal daerah yang akhirnya harus gigit jari karena luput dari perhatian stakeholder yang menangani urusan MTQ. Mereka lebih senang memakai jasa “makelar” MTQ daripada mengakomodir potensi lokal yang ada. Semangat kuat potensi lokal untuk berprestasi dikancah lebih tinggi dipatahkan oleh syahwat kemenangan yang lebih mendominasi. Akibat jangka panjangnya tentu menyebabkan regenerasi yang dicita-citakan menjadi terputus. Ketiga, pemborosan sekaligus pemanfaatan APBD yang tidak tepat sasaran. Patut dicermati, dana yang digunakan untuk melaksanakan MTQ sebagian besarnya dibebankan pada APBD. Salah satu item pendanaan yang menjadi prioritas tentunya akan digunakan unuk membiayai akomodasi peserta dari luar yang akan didatangkan oleh pemerintah daerah bersangkutan. Dana yang dihabiskan tentu tidak sedikit, bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pada prinsipnya, APBD yang bersumber dari pajak rakyat kemudian digunakan pada kebijakan yang sama sekali tidak pro-rakyat adalah sebuah pengkhianatan besar pada rakyat.

Sebagai tuan rumah sekaligus juara umum, Kafilah MTQ Majene melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan apa yang telah pernah diraihnya. Jika kemudian Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Majene melakukan langkah yang sama, tentu merupakan sebuah kemunduran besar. LPTQ sebagai pemegang otoritas pembinaan di bidang MTQ baik skala nasional maupun daerah adalah sebuah lembaga yang tentunya terdiri dari orang-orang yang memiliki niat yang sama untuk membangun upaya pembinaan generasi Qur’ani. Tak heran jika LPTQ banyak didominasi oleh para ulama, kiyai, ustadz, guru mengaji dan para pemerhati Qur’an. Jika kemudian LPTQ tunduk pada hegemoni kekuasaan dan larut dalam “mencampur-adukkan” kepentingan dan tujuan mulia MTQ maka kadar keulamaan pengurus LPTQ tersebut patut dievaluasi.

Dengan alasan apapun dan ditinjau dari segi manapun, tradisi rental-merental peserta yang marak terjadi di MTQ harus menjadi bahan renungan kita semua. Jika tradisi-tradisi yang dibangun melalui simbol agama turut pula terkontaminasi oleh syahwat rendah para penguasa, lalu kemana lagi harapan pembinaan generasi Qur’ani ini akan dialamatkan?

COMMENTS :

Don't Spam Here 1

wah usut tuntas saja bro .. turunkan anak2 untuk aksi besar-besaran .. hehehe

Anonim mengatakan...
on 

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 Fresh Themes Gallery | NdyTeeN. All Rights Reserved. Powered by Blogger and Distributed by Blogtemplate4u .